Wednesday, August 12, 2015

Kapan Kita Benar-Benar Pulang?

Sepertinya kalian harus menyalahkan Dave Grohl yang menulis lagu Home dan dimasukkan di album Echoes, Silence, Patience and Grace sehingga kalian harus membaca tulisan saya kali ini. Tapi serius, pernahkah kalian berpikir, apa itu rumah? Apa itu pulang? Atau, apa itu “pulang ke rumah”?

Waktu saya kecil, mungkin di usia taman kanak-kanak, saya pernah diberi tugas menggambar oleh guru TK saya. Tugas tersebut adalah menggambar rumah kami masing-masing. Lalu tanpa ragu saya menggambarnya  dengan jelas. Bagaimana bentuk rumah saya waktu itu. Berapa pintunya, berapa jendelanya , bagaimana posisi kursinya, dan lain-lain dan lain-lain. Bahkan saya gambar pula Bapak,Ibu, dan Eyang Putri saya (adik tidak saya gambar karena saat itu saya belum punya adik) serta saya juga menggambar ayam peliharaan saya. Sempat mendapat pertanyaan dari Ibu Guru, “Loh, ini apa? Ayam? Jangan digambar dong, ayam kan bukan anggota keluarga.” Lalu, karena takut akhirnya saya hapus saja gambar tersebut. Sampai malamnya, saya berpikir, kenapa ayam tak boleh saya gambar, dan tak bisa dimasukkan ke dalam keluarga. Blengur, nama panggilan ayam tersebut, sudah saya pelihara sejak masih kuthuk. Dan dia pun nurut sama saya. Pikiran tersebut terus mengiang semalam, lalu hilang paginya setelah bangun tidur karena saya dapat hadiah dari Bapak pesawat-pesawatan F-16 yang bisa terbang betulan.

Mungkin ketika saya kecil, logika saya belum bisa benar benar liar dan kemana mana. Logika saya diikat dengan beberapa tali rafia. Beberapa tali rafia tersebut merk-nya “sekolah”, “norma”, “agama”, dan masih banyak merk-merk yang lain. Tak apa. Bagi saya, hidup ya harus begitu. Ibarat layangan, walaupun keliatan bebas di langit sana, pasti ada senar yang mengikatnya kan? Begitu pula tali rafia tersebut membentuk persepsi “rumah”, atau konsepsi “pulang”.

Apakah “pulang” hanya digunakan ketika kita sehabis bermain di luar, lalu pulang ke bangunan yang berisi keluarga, yang disebut rumah? Tak bisakah kita menemukan “pulang” yang lain? “rumah” yang lain? Nanti kalau kalian beristri/bersuami, rumah kalian yang mana? Yang berisi Bapak Ibu kalian sendiri, atau Bapak Ibu mertua kalian? Bisa jadi kalian punya uang banyak lalu kalian beli banyak bangunan lalu kemudian kalian sebut rumah. Lalu kalian bisa bilang, “Aku mau pulang ke rumah yang di tengah kota saja”, atau “Aku mau pulang ke rumah yang di lereng gunung”.

Bagi saya, tak semua bangunan bisa saya sebut rumah. Tak semua bangunan bisa saya jadikan tujuan untuk pulang.

Bagi pecinta, mungkin saja senyum pasangannya adalah rumah yang setiap saat ia bisa pulangi. Kalau untuk saya, di mana saya merasa bahagia, di situlah rumah. Di mana saya dibutuhkan, di situlah rumah. Di mana saya bisa tertawa, di situlah rumah. Di mana saya merasa orang-orang ada di belakang saya dan mendorong saya, di situlah rumah. Di mana kehangatan bisa sampai masuk, tak cuma ke dalam hati, bahkan sampai ubun-ubun, di situlah rumah. Di mana saya merasa ada dan diakui, tak cuma sebagai daging yang bernama namun juga sebagai bola-bola pikiran yang berkerjap , maka di situlah rumah. Di situlah saya bisa pulang, kapan saja.

Lalu, sudahkah kalian temukan rumah yang bisa kalian pulangi kapan saja?

Seorang pekerja kantoran kelas rendahan yang suka ngobrol.