Thursday, January 30, 2014

Pada Sebuah Pulang

Aku dandelion penyelam awang awang
Terbangku di kisahkan udara, melayangku dituturkan tiupan
Kemanaku, dibawa pergi kerelaan

Aku remah elektrik penyelam awang awang
Getarku di ejawantah langit malam, dipelihara auman kacangan penyair dadakan
Kemanaku, mengembara berasama harapan

Pada sebuah pulang
Dikalungkan nuansa nuansi kerinduan
Kapan kita benar benar pulang?

Friday, January 24, 2014

Tak Lebih Tinggi Derajatmu Dari Kera dan Lumba-lumba

Tak lebih tinggi derajatmu dari kera dan lumba-lumba
Ketika topeng monyet di lampu merah diberantas atas nama perlindungan

Tak lebih tinggi derajatmu dari kera dan lumba-lumba
Ketika sirip hiu, yg dijadikan sup sup dan dinikmati orang kaya itu, dilarang dalam nama perlindungan

Atau,
Tak lebih tinggi derajatmu dari kera dan lumba-lumba
Ketika lumba-lumba dilarang bersirkus di daerah daerah, yang dinantikan anak-anak kampung,
untuk dilihat secara langsung, sekali seumur hidup, sekali lagi, atas nama perlindungan.

Lalu,
Masih pedulikah kalian akan nasib bapaknya si Fajar?
Yang menghilang, gara gara terlalu lantang ia menyuarakan kebenaran.

Masih ingatkah kalian bahwa pernah ada kejadian di desa yg bernama Cikeusik?
Dimana atas nama Tuhan, mereka menyiksa sesamanya yang berbeda, sambil teriak teriak dan tertawa.

Tak lebih tinggi derajatmu dari kera dan lumba-lumba
Ketika kemanusian, dijadikan opsi kedua pencitraan.

Seorang pekerja kantoran kelas rendahan yang suka ngobrol.